Our Perspectives

Menentukan Kualitas dan Keunggulan sebuah Model Pengukuran

Dalam analisis regresi, kita sering menemukan bahwa meskipun sebuah model dapat digunakan dari data yang diobservasi dan dimungkinkan mendapatkan hasil dari data tersebut, akan tetapi model yang digunakan bisa saja tidak tepat.  Dalam regresi linear terutama denan model yang cukup spesifik, harus diuji apakah model fit sebelum mengintrepretasikan hasilnya, yakni sebelum menggunakan fungsi-fungsi regresi tersebut untuk memprediksi.

Pada dasarnya, kualitas sebuah model pengukuran terkait dengan keputusan apakah model fit dengan data melalui cara yang tepat.  Ada tiga metode yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah  secara empiris data memenuhi secara layak dari model yang mewakilinya.

1. Goodness of fit tests, metode yang membandingkan frekuensi yang diharapkan secara hipotetis dengan frekuensi yang senyatanya diobservasi dari model tertentu, dengan menguji apakah ada perbedaan yang signifikan atau tidak.

2. Coefficients of goodness of fit, metode ini menggunakan koefisien untuk menjelaskan goodness of fit, diantaranya AIC (Akaike information criterion), BIC (Bayesian Information Criterion).  Pengujian bisa dilakukan dengan menggunakan program R atau SPSS melalui analisis Anova.

3. Cross-validation, goodness of fit test seringkali tidak mencukupi untuk menilai kualitas sebuah model, terutama bila parameter yang diestimasi berjumlah banyak (misal, dalam multiple linear regression).  Sekalipun, sebuah model memiliki goodness of fit yang baik, namun generalisasinya akan dipertanyakan. disinilah digunakan metode cross-validation.  yakni membagi data menjadi dua bagian, dan melakukan analisis respektif secara terpisah untuk kedua paket data tersebut.

Demikian tiga metode untuk menilai kualitas sebuah model.  Untuk informasi lebih detil silahkan baca Statistics in Psychology, Using R and SPSS (Rasch, dkk, 2011)

Psychometric Testing

Penulis: Phillip Carter dan Ken Russel

Penerbit: John Wiley & Sons, Ltd.

Tahun: 2001

Jumlah halaman: 234

Jika Anda membutuhkan buku yang cukup berbobot untuk mencari tahu info ringkas seputar psikometri dan ingin mencoba berbagai latihan tes inteligensi dan inventori psikologis lainnya, cobalah membaca buku ini.

Buku ini memberikan informasi yang lumayan lengkap. Terdiri dari berbagai inventori kepribadian dan aptitude tes. Beberapa diantara inventori yaitu; kreativitas, kepribadian, diplomatik, risk taker, leader or follower, imaginative, termasuk mengukur seberapa baik Anda akan sukses. Dalam buku ini selain tersedia alat ukurnya, juga disediakan jawaban. Bahkan untuk inventori psikologis ada interpretasi atas hasil Anda. Jadi Anda dapat mengetahui seperti apa Anda. Lumayan asyik untuk mencari tahu tentang diri sendiri.

Setahu saya buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Anda dapat mencarinya di toko buku dengan judul yang sama. Mungkin kelemahan buku ini adalah tidak adanya informasi psikometri atas alat ukur yang digunakan, misalnya seberapa valid dan reliabel alat tersebut. Di samping itu, untuk tes inteligensi, yang tersedia hanya range umum untuk menginterpretasikan hasil yang diperoleh dari jawaban. Namun lepas dari kekurangannya, buku ini tetap asyik untuk dibaca dan dicoba oleh Anda. Siapa tahu Anda menjadi lebih paham mengenai diri Anda sendiri.

Selamat mencoba.

Mempelajari Sebuah Alat Ukur atau Instrumen Baru

Jika Anda kerja di bagian SDM mungkin Anda pernah ditawari untuk membeli sebuah alat ukur yang Anda sendiri belum familiar dengan alat tersebut. Bagaimana caranya agar Anda dapat memahami alat tersebut sehingga ketrampilan dan pengetahuan Anda meningkat dalam menggunakan alat ukur tersebut?

Di bawah ini langkah-langkah untuk menjadi lebih familiar dengan sebuah alat ukur baru:

1. Bacalah manual alat ukur secara menyeluruh, khususnya di bagian yang berkaitan dengan pengembangan, validitas, dan norma.

2. Cobalah gunakan alat ukur tersebut pada diri sendiri. Usahakan untuk mengikuti sesuai instruksi meng-administrasikan alat ukur tersebut berdasarkan manual yang ada.

3. Estimasi performance Anda pada saat menjalankan tes tersebut. Sejauhmana Anda yakin Anda berhasil mengerjakannya dengan baik? Apa yang kira-kira tes tersebut katakan tentang diri Anda?

4. Skoring (beri nilai) hasil tes Anda dan bandingkan dengan prediksi Anda pada kinerja aktual pada saat menjalani tes tersebut.

5. Jika prediksi Anda mendekati target, Anda memiliki insight mengenai alat ukur tersebut dan bagaimana menginterpretasikan data dari tes tersebut. Jika prediksi Anda berada di bawah skor yang diberikan, pertimbangkan implikasi-implikasi dari temuan ini. Baca ulang manualnya dan lihat apakah Anda menangkap logika sebenarnya dan bagaimana seharusnya alat ukur tersebut diaplikasikan. Ingat ada dua kemungkinan kesimpulan yang muncul: kemungkinan prediksi Anda yang perlu dikalibari atau alat ukur tersebut tidak benar-benar valid. Hingga Anda benar-benar berhasil menyelesaikan dilema ini, menggunakan alat ukur ini dalam assessment bukanlah pilihan yang bijak.

6. Administrasikan alat ukur pada beberapa orang kenalan atau rekan kerja yang Anda kenal dengan baik adalah cara lain untuk mempelajari sebuah alat ukur. Tapi ingat, adalah sangat berguna untuk memprediksi skoring mereka didasarkan pada pengetahuan Anda tentang mereka dan kemudian carilah jalan keluar untuk dari gap yang ada, sekurang-kurangnya dalam pikiran Anda sendiri.

Konsep Sikap dan 7 Saran Menyusun Item dalam Skala Sikap Bertipe Likert

Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari untuk merespons secara positif atau negatif sebuah obyek, situasi, atau orang tertentu. Sikap berisi komponen kognisi (pengetahuan), afeksi (emosi dan motivasi), dan kinerja (perilaku atau tindakan). Sikap menunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuan. Terkadang orang menyamakan antara konsep sikap, minat, opini, keyakinan, dan nilai.

Minat lebih pada perasaan atau preferensi seseorang terhadap aktivitas tertentu. Bisa saja seseorang tertarik dengan aktivitas tertentu, tanpa memperhatikan apakah pemikiran atau perilaku ini positif atau negatif.

Dibandingkan dengan opini, maka sikap memiliki dampak respons yang lebih umum pada berbagai macam orang atau peristiwa. Orang sadar mengenai opini mereka, namun kadang tidak benar-benar sadar dengan sikap mereka. Opini adalah reaksi khusus terhadap kejadian atau situasi tertentu.

Salah satu metode untuk mengukur sikap salah satunya menggunakan skala Likert yang dikembangkan oleh Rensist Likert. Dikenal dengan method of summated ratings dimulai dengan pengumpulan atau penyusunan banyak sekali item yang mengungkapkan beragam sikap positif dan negatif terhadap obyek atau peristiwa khusus. Dibawah ini 7 saran untuk menyusun item dalam skala Likert:

1. Item harus mengacu pada kondisi saat ini, bukan masa lalu.

2. Item tidak harus berdasarkan fakta atau yang dapat diinterpretasikan sebagai fakta.

3. Item hanya dapat dinterpretasikan dengan satu cara, tidak boleh lebih dari satu cara.

4. Item relevan dengan konsep psikologi yang diukur.

5. Item harus berupaya kalimat sederhana yang hanya berisi satu pemikiran, bukan kalimat majemuk atau kalimat rumit.

6. Hindari item yang: memuat dua kalimat negatif, kata-kata yang tidak dipahami orang awam, kata-kata yang memiliki lebih dari satu makna, kata sifat atau kata keterangan yang tidak spesifik (misalnya, banyak, kadang-kadang) atau terlalu universal (misal semua, selalu, tak satupun atau tidak pernah).

7. Hindari item yang memakai bahasa slang dan kata pasaran, membuat item dimaknai ambigu dan tidak jelas.

Mengapa perusahaan perlu mengetahui informasi dibalik tes psikologis atau tes psikometri

Adakalanya perusahaan yang ingin melakukan seleksi terhadap pegawai menggunakan tes psikologis untuk menilai keadaan psikologis calon pegawain. Namun apakah perusahaan tahu jenis alat tes yang digunakan dan apa kegunaan setiap alat tes bagi calon yang dites? belum tentu.

Banyak perusahaan menyerahkan proses asesmen  tanpa mencari tahu lebih banyak, padahal mengetahui alat tes yang digunakan merupakan kunci penting untuk mengetahui kesesuaian antara potensi, kemampuan, dan kepribadian calon dengan kebutuhan perusahaan, termasuk kesesuaiannya dengan jabatan/posisi yang akan diemban calon pegawai.

Di Indonesia, psikotes merupakan istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan proses pemeriksaan psikologis calon pegawai. Setiap kita mendengar kata psikotes yang terbayang adalah tes mencari persamaan kata, menjumlahkan angka, mencari gambar yang sesuai, menyesuaikan dadu, menggambar orang, dsb. Ini merupakan tipikal psikotes di Indonesia. Sebagaian besar  mengukur kemampuan/kecerdasan nalar dan kepribadian, padahal tes psikologis bukan hanya psikotes, tetapi juga termasuk tes potensi, tes bakat, tes aptitude, tes kompetensi, tes kemampuan analitikal dll yang bahkan seringkali lebih dibutuhkan untuk meng-assess calon pegawai level manajer dibanding psikotes yang selama ini digunakan.

Saat ini istilah psikotes, menurut penulis, sudah tidak tepat lagi. Dengan berbagai ragam alat tes yang ada, penamaan psikotes menjadi kurang mencukupi sehingga kata yang tepat untuk pemeriksaan psikologis adalah tes psikometri, istilah ini juga merupakan istilah yang umum dipakai di negara-negara maju untuk melakukan asesmen psikologis yang menggunakan media alat tes.

Sudah saatnya perusahaan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai berbagai alat tes psikologis yang ada. Terutama bila ingin merekrut level manajer, yang notabene tidak lagi membutuhkan tes kecerdasan/kemampuan yang seringkali disebut psikotes. Di level manajer informasi yang dibutuhkan perusahaan lebih pada informasi mengenai kemampuan/kompetensi calon manager tersebut dan bagaimana potensinya untuk berkembang di masa datang. Jika perusahaan memang masih membutuhkan tes kecerdasan/kemampuan terhadap kandidat di level manajer, maka yang digunakan bukan lagi tes-tes yang juga digunakan untuk merekrut fresh graduate, melainkan tes yang memiliki level kesukaran yang lebih tinggi dan soal yang lebih bervariatif.

11 Teknik Menilai Keandalan Sebuah Instrumen atau Alat Ukur Psikologis

Saat ini organisasi dihadapkan pada berbagai pilihan alat ukur psikologis yang mengklaim dirinya sebagai yang terbaik dalam menilai aspek psikologis manusia. Apakah klaim tersebut benar? Ada baiknya Anda, sebagai HRD yang bertanggungg jawab terhadap masalah manusia di organisasi Anda, mencoba menilai keandalan alat ukur yang Anda beli dengan memegang 11 prinsip di bawah ini:

1. Reliabilitas : Dalam mengukur kapasitas seseorang, Anda hanya bisa yakin informasi yang diberikan benar, jika alat tersebut memiliki keandalan/dapat dipergunakan berulangkali dengan hasil yang mendekati sama seperti sebelumnya. Dalam psikologi, reliabilitas berarti sejauhmana alat ukur tersebut secara konsisten mengukur apa yang ingin diukur. Ada 4 tipe dari informasi mengenai reliabilitas; internal consistency, tes-retest, alternate form, dan inter-rater. Tanyakan informasi mengenai reliabilitas berdasarkan 4 tipe reliabilitas tersebut.

2. Validitas : Memberikan hasil yang konsisten belum cukup untuk membuat sebuah alat ukur efektif. Mungkin saja alat ukur tersebut reliabel — Anda tahu bahwa alat tersebut mengukur sesuatu — tapi apakah Anda tahu alat tersebut valid? Validitas berarti sejauhmana alat ukur tersebut mengukur apa yang ingin diukur. Sebuah alat ukur dikatakan valid jika, korelasi dengan baik dengan alat ukur lain yang mengukur hal yang sama (concurrent validity), dapat dikaitkan dengan rating atau kriteria lain yang mendukung hasil alat ukur tersebut (external validity), dapat membedakan antara kelompok (discriminant validity), dan tidak berkorelasi dengan konstruk yang secara teoritis memang tidak terkait (divergent validity). Ada banyak bentuk validitas lainnya, dan setiap tipe validitas memberikan informasi tentang bagaimana alat ukur tersebut didesain sehingga benar-benar mengukur apa yang ingin diukur dan dengan cara apa alat ukur tersebut digunakan dalam pengambilan keputusan. Index validitas yang bagus ditentukan oleh sekumpulan riset-riset validitas dengan menggunakan beragam metodologis. Sebuah alat ukur yang kaya dengan informasi validitas yang diterbitkan (terutama dalam jurnal-jurnal ilmiah) semakin membuat kita yakin bahwa alat tersebut memang benar-benar valid mengukur apa yang ingin kita ukur.

3. Sampel Normatif : Setiap survei selalu mengumpulkan data mentah dari sekumpulan orang. Tetapi bagaimana Anda menentukan apa sebenarnya dihasilkan dari data tersebut? Interpretasi atas skor tes seseorang memiliki arti jika dibandingkan dengan sebuah nilai kelompok yang lebih besar, dikenal dengan nama normatif population. Norma adalah satu set skor tes yang memberikan benchmark atas perbandingan ini. Contoh, banyak tes IQ memiliki nilai rata-rata 100; berdasarkan hal ini, memungkinkan untuk menentukan apakah seseorang berada di atas atau di bawah rata-rata. Untuk membangun norma, alat ukur tersebut harus diuji cobakan pada sampel yang sesuai dengan tujuan alat ukur tersebut. Tidak hanya jumlah sampelnya tapi pemilihan sampel juga harus dilakukan dengan hati-hati, termasuk gender, umur, etnis, dan geografi. Sebagai contoh, sebuah alat ukur yang mengukur sales profile, maka sebaiknya diujicobakan ke orang-orang sales dan bukan ke anak sekolah.

4. Bukti bahwa hasil tes berkaitan dengan realitas yang sebenarnya: pertanyaan penting yang perlu Anda tanyakan adalah bagaimana keterkaitan hasil tes dengan realitas sesungguhnya. Jika ada vendor yang mengklaim bahwa alat ukurnya dapat mengetahui orang yang perform dengan orang yang tidak sehingga hasil akhirnya adalah meningkatkan ROI Anda, tentunya Anda berminat dengan alat ukur tersebut bukan? Tetapi Anda perlu cari tahu dulu apakah hal tersebut benar, cek melalui informasi yang pernah mereka publikasikan bagaimana alat tersebut dapat dikaitkan dengan performance atau efektifitas.

5. Jaminan bahwa alat ukur tersebut didasarkan pada model teoritis yang telah diakui oleh ilmuwan psikologi ternama : Secara profesional mendesain alat ukur harus menggunakan metode empiris yang menguji sebuah teori yang sudah establish. Tanpa dasar teori yang jelas, maka arti skor dari alat ukur tersebut menjadi tidak jelas dan tidak berdasar. Cari alat ukur yang memiliki literatur yang lengkap, kombinasi teori yang padu, ada korelasi antara teori, dan cari bukti signifikan bahwa alat ukur tersebut memang bagus sehingga meningkatkan keyakinan Anda terhadap interpretasi hasil skor tes dari alat ukur tersebut.

6. Pilih alat tes yang sesuai dengan kebutuhan organisasi Anda: jika Anda ingin mengetahui kompetensi individu di organisasi, maka Anda jangan menggunakan alat ukur yang mengukur kepribadian atau minat. Jadi Anda perlu benar-benar menggali kebutuhan Anda dan cari tahu apakah alat ukur yang ditawarkan benar-benar memenuhi kebutuhan Anda.

7. Cari tahu riset-riset yang mendasari alat ukur tersebut : penyedia alat tes yang profesional selalu meng-up date alat ukurnya melalui riset-riset yang terus menerus mereka lakukan, sehingga merefleksikan bagaimana komitmen mereka terhadap alat yang mereka kembangkan. Cari tahu melalui web atau tanyakan langsung kepada penyedia alat ukur tersebut.

8. Tanyakan bagaimana aplikasi selanjutnya setelah alat ukur digunakan : setelah semua karyawan mengisi alat ukur tersebut. Selanjutnya apa? Apakah Anda yang mengerjakan sisanya? atau Anda hanya diberi hasil akhir saja? Jadi ada baiknya Anda membeli alat ukur yang memberikan training  atas materi tes dan apa yang bisa dilakukan selanjutnya dengan hasil tersebut, dengan demikian Anda menghemat waktu, biaya, dan tenaga Anda bahkan Anda bisa mendapati ilmu juga.

9. Yakinkan bahwa alat tersebut tidak melanggar peraturan pemerintah : Yakinkan diri Anda bahwa alat ukur yang Anda beli tidak melanggar pedoman-pedoman yang ada dalam industri alat ukur, peraturan-peraturan pemerintah, maupun asosiasi terkait lainnya. Cari penyedia alat ukur yang selalu meng-update informasi yang berkaitan dengan unsur legalnya.

10. Cek persyaratan kualifikasi pengguna : hal ini berkaitan dengan isu etis dan legal. Cari tahu siapa yang boleh menggunakan alat ukur tersebut, apakah diperlukan persyaratan khusus untuk menggunakan alat itu. Ada kalanya alat tes mensyaratkan kualifikasi pendidikan tertentu, namun ada juga yang tidak, hal tersebut seringkali tergantung dari proses membuat interpretasinya.

11. Berhati-hatilah dengan alat ukur yang merupakan adaptasi dari luar negeri : ini yang seringkali diabaikan oleh penyedia alat tes di dalam negeri, adakalanya mereka hanya melakukan translate bahasa namun tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas lagi, padahal dimungkin ada item/pernyataan yang tidak sesuai dengan budaya/kepribadian dari orang-orang kita. Jadi cari tahu bagaimana alat tes tersebut diadaptasi, dan apakah melalui prosedur yang benar (psychometric approach) atau hanya melakukan translate saja.

11 Pertanyaan Krusial Saat Membeli Inventori Kepribadian

Pernah dengar DISC, MBTI, OPQ? Ini adalah sebagian kecil dari beragam alat ukur yang terstandarisasi untuk menilai aspek psikologis diluar inteligensi/kemampuan. Alat-alat ini sering disebut kuesioner/inventori. Tujuannya bermacam-macam, diantaranya, mengukur minat, kepemimpinan, kompetensi, kepribadian, dsb. Apa yang harus Anda lakukan sebagai seorang HRD jika ditawarkan alat-alat ini? Inilah 12 Pertanyaan krusial yang wajib Anda tanyakan:

1. Untuk tujuan apa? Setiap alat ukur dibuat untuk mengukur sesuatu. Cek untuk tujuan mengukur apa alat tersebut dibuat. Apakah sesuai dengan kebutuhan Anda? Anda harus dapat mendapatkan informasi ini secara lengkap karena jika Anda salah mengidentifikasikan antara kebutuhan Anda dan tujuan dari alat tersebut dibuat, maka menjadi tidak berguna alat yang Anda beli tersebut.

2. Bagaimana bentuk laporannya? dengan melihat format laporan, Anda dapat mengetahui apakah inventori tersebut sesuai kebutuhan Anda atau tidak.

3. Apakah mudah digunakan? lihat format respon dan bagaimana teknik penskoran dilakukan. Ini memberikan gambaran bagaimana melakukan interpretasinya.

4. Apakah online? Alat ukur yang berbentuk online biasanya lebih murah dan dapat meminimalkan error saat melakukan interpretasi. Jika masih manual, tanyakan bagaimana cara meminimalkan error yang mungkin terjadi karena human error.

5. Dukungan teknikal apa yang diberikan? Pilihlah vendor yang memberikan dukungan teknikal, misal free support, updates, dan informasi yang dapat didownload dengan mudah. Jika skoring dapat dilakukan sendiri, tanyakan bagaimana cara menginterpretasikannya. Lebih baik lagi jika bisa mendapatkan training dan layananan purna jual yang kontinyu.

6. Apakah ada pilihan harga? Adakalanya perusahaan memiliki anggaran terbatas, sehingga perlu membatasi biaya tes per orang. Salah satu caranya adalah vendor menyediakan report versi full atau versi ringkas sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan Anda.

7. Sejauhmana Anda dapat memodifikasi pernyataan yang ada dalam tes/inventori? biasanya jarang sekali Anda dapat memodikasi pernyataan. Tapi dimungkinkan jika Anda ingin menggunakan inventori tersebut sebagai bagian dari survei kepuasan pegawai misalnya.

8. Apakah akan ada masalah legal jika menggunakan inventori tersebut? Jika sampai terjadi masalah legal terhadap assessment yang dilakukan, apakah vendor mau menolong? apakah ada dukungan dari vendor? gunakan vendor yang bisa memberikan back up bukti scientific yang relevan dengan inventori tersebut.

9. Apakah memiliki manual teknis? Ini yang paling penting, jika Anda membeli inventori mulai dari materi pernyataan hingga ke interpretasi, Anda perlu mendapatkan informasi selengkapnya yang ada. Dalam hal ini manual teknis yang lengkap; cara peng-administrasi-an, cara skoring, dan cara interpretasi hasil. Disamping itu Anda juga perlu mendapatkan manual teoritis dan research yang mendukung proses pembuatan inventori tersebut.

10. Apakah inventori tersebut memiliki informasi psikometri yang lengkap? Pilihlah alat ukur yang dikonstruksikan atau didesain dengan metodologi ilmiah dan memakai norma yang sesuai serta memiliki informasi validitas dan reliabilitas yang terpercaya.

11. Apakah inventori tersebut merupakan adaptasi dari alat tes dari luar negeri? Banyak alat tes yang beredar di Indonesia merupakan translate saja dan tidak melalui proses adaptasi alat yang baku. Untuk memastikan bahwa alat tersebut benar-benar adaptasi, tanyakan informasi psikometri yang tersedia. Tanyakan sampel yang digunakan, reliabilitas, validitas, dan apakah ada item yang berubah atau dihilangkan dari yang asli. Dengan demikian Anda akan lebih yakin menggunakan alat tersebut.

Tips Sukses Menjalani Psikotes/Tes Psikometri

Anda seringkali mengalami sakit perut atau berdebar-debar saat menghadapi psikotes? Anda tidak sendirian. Hampir sebagian besar orang yang menjalani psikotes atau tes psikologi mengalami hal tersebut. Berikut ini tips sukses menjalani tes psikometri/tes psikologis.

1. Pastikan Anda tahu apa yang harus Anda lakukan sebelum mulai mengerjakan soal. Jika Anda belum jelas dengan perintah dari tes atau psikotes tersebut, tanyakan langsung kepada pengawas.

2. Sebelum mengerjakan tes, bacalah perintah dengan hati-hati.

3. Saat tes telah mulai, usahakan fokus dan kerjakan seakurat mungkin.

4. Kerjakan tes dengan tenang, terburu-buru dapat membuat Anda melewatkan detail penting dan melakukan kesalahan yang tidak perlu terjadi.

5. Bacalah soal dengan cermat. Jika Anda pernah mengerjakan tes serupa, hindari asumsi bahwa soal yang diberikan sama, mungkin saja soal tersebut telah diubah.

6. Hindari menghabiskan waktu terlalu banyak dengan berkutat pada soal-soal sulit. Tinggalkan dan kembali lagi jika masih ada sisa waktu.

7. Jika tidak yakin dengan jawaban Anda, tentukan pilihan terbaik menurut logika Anda.

8. Selalulah berpikir dan bertindak positif. Anggap kegagalan masa lalu sebagai ajang belajar Anda. Intinya “jangan kalah sebelum bertanding”.

9. Terakhir, berdoalah sebelum memulai. Ini memberikan kekuatan yang positif bagi kita.

Inteligensi: Definisi Teoritis dan Karakteristik

Inteligensi berasal dari bahasa Latin intelligentia, yang berarti kekuatan akal manusia. Sudah banyak sekali definisi yang dibuat para ahli mengenai inteligensi. Orang awam seringkali mengartikan ini sebagai kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi.

Ahli-ahli psikologi memusatkan perhatian pada masalah perilaku inteligensi itu sendiri daripada membuat batasan apa yang dimaksud dengan inteligensi. Ini karena ada anggapan bahwa inteligensi merupakan status mental yang tidak memerlukan definisi, sedangkan perilaku inteligensi lebih konkrit batasan dan ciri-cirinya sehingga lebih bermanfaat untuk dipelajari (Azwar, 2004). Dengan mengidentifikasi ciri-ciri dan indikator-indikator perilaku inteligensi maka dengan sendirinya definisi inteligensi akan terkandung di dalamnya.

Tes inteligensi telah dibuat sejak sembilan dekade lalu, namun sejauh ini belum ada definisi yang dapat diterima secara universal. Konsep mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang banyak disetujui, tetapi apa saja yang termasuk dalam pengertian kemampuan mental itu sendiri masih diperdebatkan.

Galton, seorang ahli psikologi, menyatakan bahwa ada dua karakteristik yang hanya dimiliki oleh orang-orang berinteligensi tinggi yang membedakannya dari orang-orang yang berinteligensi rendah, yaitu energi/kemampuan untuk bekerja dan kepekaan terhadap stimulus fisik. Definisi Galton ini merupakan pendekatan berciri psikofisik.

Sementara itu, Alfred Binet (1857 – 1911), tokoh utama perintis pengukuran inteligensi, bersama Theodore Simon mendefinisikan inteligensi dengan tiga komponen, yaitu (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, (2) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau autocriticsm.

L.M. Terman, ditahun 1916 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan seseorang untuk berfikir abstrak. Goddard, tahun 1946 mendefinisikan inteligensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.

Edward Lee Thorndike (1874 – 1949), tokoh psikologi fungsionalisme, mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta.

Stoddard, di tahun 1941 menyebut inteligensi sebagai bentuk kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan (a) mengandung kesukaran, (b) kompleks, mengandung bermacam jenis tugas yang harus dapat diatasi dengan baik, dalam arti mampu menyerap kemampuan baru dan memadukannya dengan kemampuan yang sudah dimiliki untuk mengatasi masalah, (c) abstrak, mengandung simbol-simbol yang perlu analisis dan interpretasi, (d) ekonomis, dapat diselesaikan dengan proses mental yang efisien, (e) diarahkan pada suatu tujuan, (f) mempunyai nilai sosial, cara dan hasil pemecahan masalah dapat diterima oleh nilai dan norma sosial, dan (g) berasal dari sumbernya, yaitu pola pikir yang membangkitkan kreatifitas untuk menciptakan sesuatu yang baru dan lain.

David Wechsler, pencipta skala-skala inteligensi yang sangat populer hingga saat ini, mendefinisikan inteligensi sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungan dengan efektif.

Walters dan Gardner, di tahun 1986 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan atau serangkaian kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa inteligensi selalu berkaitan dengan pemecahan masalah. Sebagaimana karakteristik yang diberikan oleh Sternberg (1981) di bawah ini:

KomponenKarakteristik
Kemampuan memecahkan masalahmampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi mengambil keputusan tepat menyelesaikan masalah secara optimal menunjukkan pikiran jernih
Inteligensi verbalkosakata baik membaca dengan penuh pemahaman ingin tahu secara intelektual menunjukkan keingintahuan
Inteligensi praktistahu situasi tahu cara mencapai tujuan sadar terhadap dunia sekeliling menunjukkan minat terhadap dunia luar

Jadi, inteligensi bukan hanya menekankan pada aspek kemampuan kognitif (intelektual) saja, tetapi juga mementingkan aspek kemampuan sosial yang bersifat nonkognitif.

Dari berbagai definisi di atas, tampak bahwa sekalipun rumusan definisi inteligensi itu mengalami berbagai perubahan dari waktu ke waktu akan tetapi tidak pernah mengurangi penekanan pada aspek kognitifnya.

Resensi Buku – More Psychometric Testing

Penulis: Philip Carter & Ken Russel

Penerbit: John Wiley & Sons, Ltd

Tahun: 2003

Jumlah Halaman: 274

Tidak berbeda jauh dengan buku pertamanya, dalam buku yang kedua ini, kedua penulis masih berbicara mengenai inventori kepribadian dan aptitude tes. Yang membedakan hanya pada tema-tema inventori yang diukur.

Tema-tema inventori dalam buku ini telah diklasifikasikan dengan lebih spesifik. Seperti di bagian 1 dari inventori kepribadian berisi inventori yang didisain untuk mengukur kepribadian secara umum, kreativitas, dan perceptual skills. Sementara di bagian kedua, berisi inventori kepribadian yang mengukur sisi kemanusiaan kita, seperti kindness, humour, jealous, impulsive dsb.

Di bagian aptitude test, sama seperti buku sebelumnya aptitude tes dibuku ini terdiri dari 2 bagian, baik bagian satu maupun bagian dua berhubungan dengan spatial ability, logic, verbal, dan numerical tes. Tes di bagian 1 terdiri dari 40 soal yang dipisahkan berdasarkan 4 sub tes disebutkan di atas dengan batas pengerjaan 2 jam, sementara tes di bagian 2 terdiri dari 20 soal dengan batasan waktu 1 jam pengerjaan.

Kita diminta untuk mengikuti batasan waktu tersebut atau skor yang kita dapat menjadi tidak berarti. Dalam tes ini diberikan interpretasi atas nilai yang kita dapat. Hanya sayangnya buku ini masih dalam bahasa Inggris dan belum diterjemahkan, jadi untuk yang mau berlatih dengan menggunakan buku ini diharapkan sudah memahami bahasa Inggris seperti kita berbahasa Indonesia, sebab kalau tidak, maka interpretasinya menjadi tidak valid. Tapi paling tidak, jika ingin berlatih soal-soal tes, buku ini cukup berbobot. Selamat membaca!

Our Partner