Dunia telah berubah sedemikian pesat.  Memakai bahasa matematika, perubahan yang terjadi mungkin mengikuti deret ukur bukan lagi deret hitung karena demikian cepatnya berubah, bahkan mungkin membentuk suatu deret baru yang belum diketahui karena perubahan yang terjadi kadangkala tidak mudah dipahami.

Akselerasi yang sedemikian cepat, membuat organisasi perlu beradaptasi dan mengantisipasi dengan segera terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dunia.

Di dunia bisnis, kondisi ini diistilahkan dengan nama VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Banyak hal yang terjadi di dunia saat ini bergerak secara volatil (naik dan turun secara tajam), tidak dapat dipastikan bagaimana dan kenapa hal tersebut terjadi, bersifat kompleks karena melibatkan banyak sekali unsur yang didalamnya  saling kait-mengait, dan seringkali tidak mudah diprediksi, bersifat membingungkan (ambigu).

Dalam kondisi seperti ini, organisasi tidak dapat menyandarkan diri sebagai organisasi itu sendiri yang merupakan kumpulan orang yang digerakkan untuk mencapai suatu tujuan, tetapi organisasi harus sudah menjadi kumpulan individu yang menggerakkan  diri secara bersama-sama karena suatu  keyakinan bersama guna mencapai tujuan penting.

Peran aktif individu-individu inilah yang menjadikan organisasi sebuah ‘living entity’ dan bukan sekedar ‘living machine’.  Organisasi seperti ini, yang orang-orangnya mau dan mampu mengambil peran aktif yang akan berhasil menjawab tantangan dunia bisnis saat ini.

Untuk organisasi dapat berkinerja unggul saat ini, maka penting untuk mendapatkan karyawan yang sukarela terlibat aktif dan bergerak tanpa harus diinstruksikan, berorientasi masa depan, mau memberikan saran-saran perbaikan, dan mengambil inisiatif merupakan suatu keniscayaan (Thomas, Whitman, & Viswesvaran, 2010; Crant, 2000; Chan, 2006). Inisiatif personal dan perilaku proaktif adalah kunci keunggulan kompetitif dan kesuksesan organisasi (Crant, 2000).

Di masa depan, diprediksi organisasi semakin membutuhkan karyawan dengan perilaku-perilaku proaktif (Fuller, Barnett, Relyea, & Frey, 2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa perilaku-perilaku sukarela yang berorientasi perubahan diyakini dapat menjawab lingkungan bisnis yang dinamis dan terus berubah serta meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan (Podsakoff, Whiting, Podsakoff, & Blume, 2009; Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006; MacKenzie, Podsakoff, & Podsakoff, 2011).

Salah satu tipe perilaku proaktif adalah taking charge (yakni, perilaku melibatkan diri secara aktif melalui upaya-upaya konstruktif dan sukarela yang berdampak pada perbaikan/peningkatan fungsi pekerjaan di organisasi). Perilaku keterlibatan aktif ini tidak muncul begitu saja dari diri karyawan, di sisi lain perusahaan juga tidak bisa ‘memaksakan’ karyawan untuk melibatkan diri secara aktif, karena sepanjang pekerjaan –yang didasarkan pada job description– telah terselesaikan, maka artinya secara kontraktual, karyawan telah menuntaskan pekerjaannya.

Sifat sukarela dan tidak dapat dipaksakan dari perilaku keterlibatan aktif, menjadikan kesadaran karyawan adalah kunci guna memahami perilaku ini. Artinya, saat karyawan melakukan tindakan secara sukarela untuk kepentingan bersama, pasti ada dorongan internal yang membuat karyawan mau melakukan perilaku tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa dorongan ini berasal dari rasa tanggung jawab (Moon, dkk, 2008; Choi, 2007), akan tetapi semata-mata memberikan tanggung jawab kepada karyawan tidak berarti karyawan akan bertanggung jawab (Cummings & Anton, 1990).  Dengan kata lain, ada atribut yang lebih mampu menjelaskan bagaimana tanggung jawab ini terinternalisasi dalam diri karyawan dan bukan sekedar tanggung jawab karena ‘paksaan’ dari luar (misal, menyelesaikan pekerjaan karena sudah terikat kontrak).

Apakah itu? psychological ownership (kepemilikan psikologis) terbukti dapat mendorong terciptanya rasa tanggung jawab dari dalam diri (Pierce, dkk., 2001, 2003). Individu yang merasakan kepemilikan atas sebuah obyek akan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menjaga, melindungi, mempertahankan, dan mengembangkan apa yang menjadi miliknya tersebut (Belk, 1988; Furby, 1978). Hal ini dapat dianalogikan antara Anda dan anak Anda. ‘Rasa kepemilikan’ Anda terhadap sang anak membuat Anda ingin menjaga, melindungi, dan menumbuh-kembangkannya dengan sebaik mungkin.

Demikian juga rasa kepemilikan pekerjaan akan membuat Anda berupaya untuk melakukan hal-hal terbaik untuk pekerjaan Anda. Individu dengan kepemilikan psikologis yang tinggi akan mencurahkan kepedulian dan perhatian yang lebih besar terhadap obyek kepemilikannya (Belk, 1988; Beggan, 1992).

Selanjutnya rasa tanggung jawab yang terbangun dari rasa kepemilikan ini mendorong individu melakukan usaha-usaha ekstra yang bersifat sukarela, yakni terlibat aktif untuk kemajuan pekerjaan/organisasi tempatnya bekerja (Dirks, Cummings, & Pierce, 1996; Pierce, dkk., 2003; Pierce & Jussila, 2011). Sejauh ini telah banyak penelitian yang mendukung hubungan positif antara kepemilikan psikologis dan perilaku keterlibatan aktif (misal, Van Dyne & Pierce, 2004; Vandewalle, Van Dyne, & Kostova, 1995; O’Driscoll, dkk., 2006)

Penelitian terkait rasa kepemilikan dalam organisasi merupakan riset yang masih baru.  Konstruk kepemilikan psikologis sendiri baru muncul tahun 1991 dipelopori oleh Prof. Jon L. Pierce dari Amerika (Pierce, dkk., 1991). Rasa kepemilikan adalah sifat natural dari fungsi manusia, merupakan bawaan dalam diri individu (McDougall, 1908/1923 dalam Pierce, dkk., 2001). Penelitian memperlihatkan bahwa rasa kepemilikan telah muncul sejak tahap awal masa kanak-kanak (Kanngiesser, Gjersoe, & Hood, 2010).

Sayangnya, peran penting rasa kepemilikan ini belum banyak disadari oleh pemimpin-pemimpin organisasi (Adair, 2008; Avolio & Reichard, 2008). Mungkin ini saat yang tepat bagi Anda untuk mengusulkan pada top manajemen agar mulai membangun rasa kepemilikan karyawan terhadap pekerjaan maupun organisasi. Mengapa tidak? 🙂

Leave A Comment

Our Partner